Artikel / 14 May 2025 /Farah Daniyah

Tantangan Transfer Pricing untuk Transaksi Low Value-Adding Services (LVAS) di Indonesia

Tantangan Transfer Pricing untuk Transaksi Low Value-Adding Services (LVAS) di Indonesia
Transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa (transaksi afiliasi) sering kali menjadi sorotan utama dalam pemeriksaan pajak, terutama transaksi jasa intragrup. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 22/PJ/2013 (PER 22/2013), jasa intragrup adalah aktivitas yang diberikan oleh suatu pihak dalam suatu grup usaha yang memberikan manfaat bagi satu atau lebih anggota lain dalam grup usahanya. Peraturan tersebut diperjelas kembali dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2013 (SE 50/2013), yang menyatakan bahwa keberadaan transaksi penyerahan jasa intragrup diakui apabila jasa tersebut memberikan manfaat ekonomi atau nilai komersial yang meningkatkan posisi komersial perusahaan penerima jasa. 

Namun, tidak semua jasa intragrup memiliki tingkat kontribusi yang signifikan terhadap operasional atau keuntungan penerimanya. Beberapa di antaranya justru termasuk dalam kategori jasa bernilai rendah atau Low Value-Adding Services (LVAS).  Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia belum memiliki aturan khusus yang mengadopsi konsep LVAS secara eksplisit dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/ PMK.03/2023 (PMK 172/2023). Meskipun demikian, pedoman mengenai LVAS telah tersedia dalam OECD Transfer Pricing Guidelines, yang dapat menjadi acuan dalam memahami dan menangani jenis transaksi ini.


Apa itu LVAS? 
Menurut OECD TP Guidelines paragraf 7.45, LVAS yang bertujuan simplified approach adalah jasa yang memiliki sifat sebagai berikut: 

  • Bersifat pendukung (supportive); 
  • Bukan bagian inti dari bisnis utama grup usaha (tidak menciptakan aktivitas yang menghasilkan laba atau berkontribusi secara ekonomi pada aktivitas yang signifikan); 
  • Tidak menggunakan atau menciptakan intangible asset yang unik dan bernilai tinggi; dan
  • Tidak melibatkan dan menciptakan risiko signifikan bagi penyedia jasa.
Jasa Apa Saja yang Termasuk LVAS?
Di bawah ini merupakan jenis jasa-jasa yang termasuk dalam kategori LVAS berdasarkan OECD TP Guidelines paragraf 7.49:

  • Akuntansi dan audit: penyusunan laporan keuangan, bantuan audit operasional dan keuangan, pembukuan, dan bantuan dalam penyusunan anggaran;
  • Pengelolaan utang dan piutang: penagihan kepada pelanggan, dan kontrol kredit;
  • Kegiatan Human Resource (HR):
    • Rekrutmen dan staffing;
    • Pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia;
    • Remunerasi karyawan, seperti pengelolaan payroll, absensi, dan benefit karyawan; dan
    • Kesehatan dan keselamatan kerja.
  • Monitoring dan penyusunan data yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan standar lain yang mengatur bisnis;
  • Jasa Information Technology (IT), bukan termasuk core business dalam grup usaha: 
    • Instalasi, pemeliharaan, dan pemutakhiran sistem IT; 
    • Dukungan sistem informasi: sistem informasi yang digunakan untuk kegiatan akuntansi, produksi, customer relation, sumber daya manusia dan payroll, serta email; 
    • Pelatihan IT: penggunaan atau penerapan sistem informasi; 
    • Pengembangan pedoman IT, penyediaan layanan telekomunikasi, penyelenggaraan IT help desk, penerapan dan pemeliharaan sistem keamanan IT; dan
    • Dukungan, pemeliharaan, dan pengawasan jaringan IT (local area network, wide area network, dan internet);
  • Komunikasi internal dan eksternal, serta public relation yang tidak termasuk aktivitas periklanan atau pemasaran tertentu; 
  • Bantuan legal: penyusunan dan peninjauan perjanjian, legal opinion, litigasi;
  • Perpajakan: persiapan restitusi, pembayaran pajak, dan menanggapi pemeriksaan pajak; dan
  • Kegiatan umum lainnya yang bersifat administratif atau clerical.
Seluruh kegiatan atau jasa di atas sangat sering dilakukan oleh grup usaha untuk memberikan dukungan kepada anggota grup usahanya. Kemudian, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apakah simplified approach dapat diterapkan di Indonesia? Penjelasan dan tantangan atas penerapan simplified approach di Indonesia akan dibahas secara detail di bawah. 


Jasa Apa Saja yang Tidak Termasuk LVAS?
Tidak semua jasa intragrup dapat dikategorikan sebagai LVAS karena terdapat beberapa kategori jasa yang bernilai tinggi. OECD secara tegas menyebutkan beberapa jasa yang tidak termasuk LVAS dan tidak dapat menggunakan simplified approach, di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Jasa yang merupakan core business dari grup usaha;
  • Research and development (R&D), termasuk software development;
  • Produksi dan manufaktur;
  • Pembelian bahan baku yang digunakan dalam proses produksi;
  • Penjualan, pemasaran, dan distribusi;
  • Transaksi keuangan;
  • Ekstraksi, eksplorasi, atau pemrosesan sumber daya alam;
  • Asuransi dan reasuransi; dan
  • Corporate senior management kecuali sebatas supervisi terhadap LVAS.
Perlu dipahami bahwa jasa yang bernilai tinggi tidak selalu menghasilkan laba yang tinggi. Jasa tersebut juga dapat memberikan nilai tambah yang rendah. Oleh karena itu, transaksi jasa intragrup tetap wajib dianalisis untuk menentukan harga wajar sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU).


Apa yang Dimaksud dengan Simplified Approach
Simplified approach adalah pendekatan sederhana yang diperkenalkan dalam OECD TP Guidelines untuk menentukan harga wajar transaksi jasa intragrup yang berkategori LVAS. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan perhitungan transfer pricing atas transaksi jasa intragrup yang bersifat administratif atau pendukung dan tidak memiliki nilai tambah yang signifikan terhadap core business grup usaha. Selain itu, pendekatan tersebut juga bisa membantu menyelesaikan pemeriksaan pajak atas kewajaran transaksi jasa intragrup berkategori LVAS. 

Jasa yang berkategori LVAS dan memenuhi syarat untuk menerapkan simplified approach, perhitungan arm’s length charge dilakukan melalui langkah-langkah berikut:

  1. Mengidentifikasi biaya-biaya yang berkategori LVAS setiap tahunnya, kecuali biaya-biaya yang hanya memberikan manfaat bagi penyedia jasa saja. Selain itu, biaya passthrough dalam cost pool juga harus diidentifikasi;
  2. Menghilangkan biaya-biaya atas jasa yang hanya diberikan kepada satu entitas grup;
  3. Mengalokasikan biaya di antara anggota grup usaha menggunakan allocation key sesuai jenis jasa, misalnya berdasarkan pendapatan, aset, jumlah karyawan, atau jumlah pengguna layanan IT. Allocation key yang dipilih harus mencerminkan manfaat yang diterima oleh masing-masing penerima jasa secara wajar;
  4. Menerapkan fixed markup sebesar 5% dari biaya yang dialokasikan tanpa perlu dilakukan analisis benchmarking;
  5. Menghitung jumlah net charge yang harus dibayarkan oleh masing-masing anggota grup usaha; dan
  6. Menyiapkan dokumentasi sederhana untuk mendukung perhitungan alokasi biaya tersebut.
Apakah Simplified Approach Dapat Diterapkan di Indonesia? 
Meskipun OECD TP Guidelines memperkenalkan simplified approach dengan fixed markup sebesar 5% untuk LVAS tanpa perlu benchmarking, di Indonesia transaksi LVAS tetap wajib dianalisis kewajarannya sesuai dengan PKKU. Lebih lanjut, aturan terbaru mengenai transfer pricing di Indonesia belum secara khusus mengatur LVAS dan simplified approach. Oleh karena itu, penggunaan simplified approach di Indonesia belum dapat diterapkan untuk menganalisis kewajaran transaksi LVAS. Namun, transaksi jasa intragrup, baik yang berkategori LVAS maupun jasa bernilai tinggi, tetap wajib menerapkan PPKU sebagaimana diatur dalam PMK 172/2013. Berikut adalah poin-poin penting yang harus disiapkan oleh Wajib Pajak atas transaksi jasa intragrup:

  1. Menyelenggarakan dan mendokumentasikan Transfer Pricing Documentation, yaitu Local File, Master File, dan Country by Country Report (CbCR) berdasarkan threshold yang berlaku;
  2. Menerapkan tahapan pendahuluan terkait transaksi jasa intragrup dalam Local File untuk menunjukkan bahwa transaksi tersebut tidak dimaksudkan untuk penghindaran pajak atau praktik transfer pricing abuse. Tahapan pendahuluan tersebut memuat informasi terkait existence test dan benefit test yang dijelaskan sebagai berikut: 
    • Existence test adalah pengujian atas jasa intragrup tersebut benar-benar dilakukan. Wajib Pajak perlu menyediakan bukti atau format atas existence penyerahan jasa tersebut dengan pihak afiliasi, seperti kontrak/perjanjian, laporan, atau saran tertulis; dan
    • Benefit test adalah pengujian atas manfaat ekonomi yang diterima oleh penerima jasa secara spesifik. Pengujian ini memastikan bahwa transaksi jasa intragrup tersebut bukan merupakan kegiatan shareholder activity, duplicate service, incidental service, passive association, dan on call service
  3. Melakukan penghitungan kewajaran pembayaran jasa intragrup dengan menggunakan metode transfer pricing yang sesuai, seperti Cost Plus Method atau metode lain yang relevan.
Tanpa adanya aturan spesifik terkait penggunaan simplified approach di Indonesia, Wajib Pajak yang beroperasi di Indonesia memiliki kewajiban menyelenggarakan Transfer Pricing Documentation dalam mendokumentasikan jasa intragrup untuk menghindari koreksi pajak.


Bagaimana jika Transaksi LVAS Tidak Wajar?
Sebelum menilai kewajaran transaksi LVAS berdasarkan pengujian transfer pricing, pemeriksa pajak akan melakukan pengujian melalui tahapan pendahuluan atas transaksi tersebut. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan existence test atau benefit test, maka transaksi tersebut memiliki risiko signifikan. Worst case yang dapat terjadi adalah transaksi tersebut tidak dapat diterima secara fiskal dan tidak dapat dibebankan. Berikut merupakan konsekuensi yang dapat dihadapi oleh Wajib Pajak jika transaksi LVAS tidak wajar: 

  1. Koreksi Transfer Pricing: Pemeriksa pajak dapat menyesuaikan harga transfer atau bahkan bisa tidak menerima sepenuhnya transaksi tersebut, sehingga penghasilan kena pajak akan bertambah.
  2. Sanksi Administratif: Lanjutan dari koreksi pajak tersebut akan muncul penghasilan kena pajak yang baru. Konsekuensinya, sanksi berupa bunga atau denda akan dikenakan sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  3. Pemeriksaan Pajak Lebih Ketat: Apabila Wajib Pajak sering mendapatkan koreksi pajak terkait transaksi jasa intragrup, terutama LVAS, pemeriksa pajak sangat mungkin dapat meningkatkan pengawasan dan melakukan pemeriksaan lebih mendalam.
Pertanyaan selanjutnya yang akan muncul adalah bagaimana cara pemeriksa menentukan kewajaran transaksi dan melakukan koreksi atas transaksi jasa intragrup itu? Berdasarkan Pasal 36 ayat (5) PMK 172/2013, Pemeriksa Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak dalam hal Wajib Pajak: 

  1. Tidak menerapkan PKKU; 
  2. Menerapkan PKKU, namun tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 
  3. Tidak dapat membuktikan transaksi afiliasi berdasarkan tahapan pendahuluan; dan/atau 
  4. Menentukan harga transfer tidak memenuhi PKKU.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 12 ayat (7) PMK 172/2013, dalam hal harga transfer tidak memenuhi PKKU, maka penentuan harga transfer dilakukan sebagaimana penentuan harga dalam transaksi dengan pihak independen menggunakan:

  1. Titik kewajaran;
  2. Titik yang paling tepat di dalam rentang kewajaran sesuai kesebandingannya; atau
  3. Titik tengah (median) di dalam rentang kewajaran, dalam hal tidak dapat ditentukan titik paling tepat.
LVAS sebagai Instrumen Potensial Transfer Pricing Abuse
LVAS pada dasarnya merupakan jasa yang bersifat rutin, berisiko rendah, dan tidak memberikan kontribusi strategis bagi penerima jasa. Namun, transaksi LVAS sering dimanfaatkan oleh grup usaha multinasional sebagai skema transfer pricing abuse, dengan cara memindahkan laba (profit shifting) ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah melalui pembayaran biaya jasa yang tidak wajar, mengurangi basis pajak (base erosion) dengan membebankan biaya LVAS yang besar dan tidak proporsional di Indonesia, serta memanfaatkan kelemahan pengawasan atas jasa yang bersifat tak berwujud (intangible).

Oleh karena itu, transaksi jasa intragrup menjadi salah satu poin krusial yang perlu dianalisis secara cermat dalam tahapan pendahuluan, mengingat tingginya potensi penyalahgunaan dalam transaksi ini. Praktik-praktik transfer pricing abuse tersebut mendorong otoritas pajak untuk memberikan perhatian khusus dan menguji secara saksama setiap transaksi jasa intragrup, termasuk keberadaannya, manfaat yang diterima, hingga kewajaran nilai jasanya, sebagai upaya menjaga basis pajak Indonesia tetap optimal. 


Perbandingan Transaksi LVAS Berdasarkan OECD TP Guidelines dan Aturan di Indonesia
AspekOECD TP GuidelinesAturan di Indonesia
Definisi LVASBukan jasa core business grup usaha, tidak menggunakan intangible asset, risiko minimal.Termasuk jasa intragrup, tidak ada perbedaan LVAS dan jasa bernilai tinggi.
Daftar jasa LVASDijelaskan dalam OECD TP Guidelines paragraf 7.49.Tidak diatur spesifik jasa yang dikategorikan sebagai LVAS.
Simplified approachMenggunakan fixed markup sebesar 5% tanpa perlu analisis benchmarking.Belum mengadopsi simplified approach sehingga semua transaksi jasa intragrup wajib dianalisis kewajaran melalui PKKU.
Dokumentasi yang diperlukanDokumentasi sederhana untuk mendukung perhitungan alokasi biaya.Transfer Pricing Documentation (Local File, Master File, CbCR) sesuai threshold PMK 172/2013.
Existence test dan benefit testDisarankan dilakukan.Wajib dilakukan melalui tahapan pendahuluan.

Kesimpulan

Transaksi LVAS merupakan salah satu bentuk jasa intragrup yang secara prinsip seharusnya memberikan manfaat ekonomi bagi penerima jasa, meskipun kontribusinya tidak signifikan terhadap core business grup usaha. Indonesia belum mengadopsi secara eksplisit pendekatan simplified approach yang diperkenalkan OECD TP Guidelines dengan menggunakan fixed markup sebesar 5% tanpa analisis benchmarking. Seluruh transaksi jasa intragrup, baik yang berkategori LVAS maupun jasa bernilai tinggi, wajib dianalisis kewajarannya sesuai dengan PKKU dan melakukan tahapan pendahuluan. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan keberadaan dan manfaat transaksi tersebut, maka transaksi tersebut berpotensi pada koreksi transfer pricing yang kemudian transaksi tersebut tidak dapat diakui secara fiskal atau tidak dapat dibebankan. Koreksi transfer pricing tersebut menghasilkan penghasilan kena pajak yang tinggi dan masih dihadapkan dengan tambahan adanya sanksi administrasi berupa denda dan bunga.

Adanya transaksi jasa intragrup yang sudah dilakukan pengujian transfer pricing sesuai PKKU dan tahapan pendahuluan bukan berarti menghilangkan risiko perpajakan yang signifikan. Wajib Pajak tetap harus cermat dalam mendokumentasikan dan menganalisis transaksi jasa intragrup, termasuk LVAS. Penyusunan Transfer Pricing Documentation harus dilakukan dengan lengkap dan memastikan seluruh transaksi tersebut memiliki risiko yang minimal. Wajib Pajak juga dapat mempersiapkan perhitungan untuk kebutuhan internal berupa Transfer Pricing Risk yang berisi simulasi penghitungan koreksi pajak apabila pemeriksa pajak melakukan koreksi atas transaksi jasa intragrup. 


low-value-adding-services , lvas , pmk-172-tahun-2023 , transfer-pricing

Tulis Komentar



Whatsapp